Kamis, 28 Juli 2016

jangan pernah menduakan TUHAN

~~~ jangan pernah menduakan TUHAN ~~~

Baca: Mazmur 31:1-9

"Engkau benci kepada orang-orang yang memuja berhala yang sia-sia, tetapi aku percaya kepada TUHAN."  Mazmur 31:7

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata berhala memiliki arti:  patung dewa atau sesuatu yang didewakan yang disembah dan dipuja.  Setiap mendengar istilah  'berhala'  pikiran kita pasti tertuju kepada patung-patung, benda-benda kuno, kuburan-kuburan kuno, pohon tua yang usianya ratusan tahun, di mana ada banyak orang datang untuk menyembah.  Akhirnya kita pun menganggap bahwa berhala selalu berhubungan dengan kuasa-kuasa kegelapan.  Itu tidak salah!  Pemazmur juga menulis:  "Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia, mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung, tetapi tidak dapat mencium, mempunyai tangan, tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki, tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya."  (Mazmur 115:4-7).  Tuhan tidak menghendaki kita menyembah ilah lain selain Dia, sebab berhala adalah kebencian di mata Tuhan!

     Hukum pertama dan kedua dari 10 hukum Allah mengatakan:  "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi."  (Keluaran 20:3-4)  Dengan tegas dikatakan bahwa orang percaya tidak boleh menyembah berhala!  Karena Tuhan kita adalah Tuhan yang cemburu, kita tidak bisa menduakan Dia.  Jangan menyebut Yesus Kristus Tuhan jika kita masih mencari pertolongan kepada dukun, datang ke peramal, percaya kepada feng shui, tarot atau ramalan-ramalan bintang, semua itu berhala-berhala yang dibenci Tuhan.

     Namun ada pula berhala-berhala  'modern'  yang seringkali tidak kita sadari telah menggusur posisi Tuhan sebagai yang terutama dalam hidup ini.  Pekerjaan, bisnis, hobi popularitas, rumah, mobil, uang dan semua yang kita miliki bisa saja menjadi berhala dalam kehidupan kita, bahkan surat kabar  (koran)  dan gadget kita!

"Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu."  Keluaran 34:14

Baca: Mazmur 135:1-21

"Sesungguhnya aku tahu, bahwa TUHAN itu maha besar dan Tuhan kita itu melebihi segala allah."  Mazmur 135:5

Berhala-berhala itu tidak selalu identik dengan patung, benda-benda kuno, kuburan-kuburan nenek moyang, pohon tua dan sebagainya, tetapi sesuatu yang kita cintai lebih daripada Tuhan adalah berhala.  Kadangkala kita bisa memberhalakan mobil, uang dan semua kekayaan yang kita miliki.  Kita mencintai hal-hal itu lebih dari Tuhan.  "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada."  (Matius 6:21).

     Ketika diperintahkan Tuhan untuk menjual seluruh hartanya dan memberikannya kepada orang miskin, lalu mengikut Tuhan, seorang muda yang kaya lebih memilih untuk pergi meninggalkan Tuhan.  "Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya."  (Matius 19:22).  Hal itu membuktikan bahwa orang muda itu lebih mencintai harta daripada Tuhan;  harta sudah menjadi berhala dalam hidupnya.  Alkitab menegaskan,  "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut."  (Amsal 11:4).

     Berhala berarti pula sesuatu yang kepadanya kita berikan waktu lebih daripada hal-hal rohani.  Banyak orang Kristen yang hari-harinya disibukkan oleh pekerjaan, bisnis atau hobi sampai-sampai melupakan dan meninggalkan jam-jam ibadah.  Yang ada di pikiran mereka hanyalah bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.  Perhatikan!  "...akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka."  (1 Timotius 6:10).  Tidak salah kita melakukan pekerjaan, bisnis dan semua hal yang menjadi aktivitas keseharian kita, atau mengisi waktu untuk menyalurkan hobi dan kesenangan, tapi kita harus ingat bahwa perkara-perkara rohani harus tetap menjadi prioritas utama.  Jangan sampai kita memberikan waktu lebih untuk segala hal yang duniawi, dibanding hal-hal yang rohani. "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."  (Matius 6:33).  Prioritaskan Tuhan dan perkara-perkara rohani lebih dari apa pun yang ada di dunia ini.

Sebagai umat tebusan-Nya kita harus menghambakan diri hanya kepada Tuhan, dan berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan saja, bukan yang lain.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Source: www.airhidupblog.blogspot.co.id

#Bible #BibleSays #Alkitab #RenunganAlkitab #RenunganHarian #RenunganKristen #JesusChrist #TuhanYesus #GPPS

Senin, 18 Juli 2016

Kesalahan Saul

Ayat bacaan: 1 Samuel 13:13-14
=========================
"Kata Samuel kepada Saul: "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; sebab sedianya TUHAN mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu."

Kesuksesan kita sangat tergantung dari bagaimana kita memulainya. Membangun pondasi yang kuat itu merupakan hal yang penting. Tapi tidak berhenti sampai disitu saja, karena proses selanjutnya juga akan berperan sangat penting. Menyusun strategi yang baik ke depannya dengan melibatkan Tuhan, memperhatikan dengan baik setiap langkah yang diambil, itu pun akan sangat menentukan seperti apa keberhasilan yang bisa kita raih. Hidup terdiri dari serangkaian sekuens, dimana satu sekuens akan menentukan sekuens berikutnya. Satu langkah salah biasanya akan menuju kepada langkah berikutnya yang salah, semakin jauh dari rencana Tuhan sehingga waktu pun bisa terbuang sia-sia, bahkan bisa mengakibatkan kegagalan kita untuk menggenapi rencana Tuhan yang indah, yang telah Dia sediakan di depan sana. Seperti yang kemarin saya sampaikan, sangatlah bagus kalau kita sudah memulai sesuatu dengan manis. Tapi kemudian pastikan bahwa kita pun akan mengakhiri dengan manis. Karena sesuatu yang dimulai manis masih bisa berakhir buruk apabila kita tidak menyikapi setiap langkah dengan sungguh-sungguh.

Kemarin kita sudah melihat contohnya lewat raja Yehuda bernama Asa. Hari ini mari kita lihat kisah tragis raja lainnya yang juga dicatat dalam Alkitab, yaitu  Saul. Seperti Asa, pada mulanya ia jelas-jelas merupakan orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Ia bahkan disebut sebagai orang yang diurapi Tuhan. Ia dikatakan elok rupanya, badannya tinggi (1 Samuel 9:2). Saul juga dikenal sebagai pribadi yang rendah hati (ay 20-21). Ia penuh Roh Allah seperti halnya nabi (10:10-13). Everything was so perfectly good. Saul mengawali segalanya dengan sangat baik dan gemilang.

Tapi yang terjadi kemudian sangatlah ironis. Mulai dari pasal ke 13 tanda-tanda kejatuhan Saul mulai terlihat dalam sekuens yang terus bertambah buruk. Kalau mau ditarik asalnya, akar penyebabnya sebenarnya jelas. Kejayaan Saul tidaklah diikuti dengan ketaatan dan kesetiaan pada Tuhan. Worry, stress and fear were all over his mind. Ia mulai hilang pengharapan dan kesabaran. Ia meminta petunjuk dari arwah karena gentar menghadapi bangsa Filistin dan kuatir tidak lagi didukung oleh bangsanya (13:11-12). Ia tidak lagi percaya dan berserah kepada Tuhan, melainkan mulai mencari alternatif-alternatif sendiri yang merupakan hal yang jahat di mata Tuhan. Seseorang yang mengawali langkahnya dengan sangat baik bahkan diurapi Roh Tuhan ternyata kemudian melakukan begitu banyak kesalahan, dari satu kepada yang berikut dengan tingkatan yang semakin parah.

Atas perilaku-perilaku seperti itu, Tuhan mengutus Samuel untuk menegurnya dengan keras. "Kata Samuel kepada Saul: "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; sebab sedianya TUHAN mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu." (1 Samuel 13:13-14).

Kebodohan Saul membuat apa yang ia mulai dengan baik menjadi kandas. Tuhan berkata:"Aku menyesal, karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firman-Ku." (15:11). Pada akhirnya Saul tewas mengenaskan dengan mengakhiri hidupnya sendiri karena menyerah kalah seperti yang dapat kita baca dalam 1 Samuel 31:4 dan 1 Tawarikh 10:4. Dalam Tawarikh dikatakan: "Demikianlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah, dan tidak meminta petunjuk TUHAN. Sebab itu TUHAN membunuh dia dan menyerahkan jabatan raja itu kepada Daud bin Isai." (1 Tawarikh 10:13-14).

Awal yang gemilang kemudian berakhir dengan kejatuhan karena terus bersikap menghianati Tuhan. Daud pun lalu terpilih menggantikan Saul. Terhadap Daud, Saul pun sempat menunjukkan iri hatinya yang mengarah pada kejahatan demi kejahatan. Kita tahu bagaimana Daud dikejar-kejar Saul dan mendapat ancaman pembunuhan. Tapi Daud tenyata menunjukkan sikap taat penuh pada Tuhan. Daud yakin dengan kuasa Tuhan dan mau menyerahkan seluruhnya ke dalam perlindungan Tuhan. Ia tetap memuji dan memuliakan Tuhan meski hidupnya terancam, dan Daud pun menerima berkat Tuhan seperti yang tertulis dalam 2 Samuel 7:1-17. "Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku. Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya." (2 Samuel 7:14-16).

Saat kita bertobat dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, saat kita percaya dan mengenal Tuhan Yesus dengan keyakinan yang berasal dari diri kita sendiri, saat itu sebenarnya kita sudah memulai sebuah awal yang manis, indah dan gemilang. Kita menerima berbagai janji perlindungan, pemeliharaan dan keselamatan dari Tuhan. Tetapi kalau kita terlena dan menjauh dari Tuhan, mulai berkompromi terhadap hal-hal yang sesat dan melakukan perbuatan-perbuatan menyakiti hati Tuhan, kita bisa menuju pada kejatuhan bahkan kebinasaan seperti Saul. Setelah memulai awal yang gemilang dengan menerima Kristus dalam hidup kita secara pribadi, kita harus melanjutkannya dengan terus taat dan setia mengikuti Tuhan. Menyerahkan hidup kita sepenuhnya ke dalam rencanaNya, yang sudah pasti akan indah pada akhirnya. Menjaga setiap langkah dengan mengamalkan atau menghidupi Firman dengan sungguh-sungguh.

Dalam keadaan tertekan, terjepit, dihimpit persoalan, jangan melepas pandangan dari Tuhan. Jangan mencari cara-cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan kebenaran, memilih apa yang ditawarkan kegelapan dan meninggalkan Tuhan. Itu pilihan keliru yang bisa merugikan kita. Percayalah bahwa Tuhan punya kuasa yang lebih dari apapun, dan sanggup melepaskan anda tepat pada waktuNya. Jangan tergiur mencari alternatif-alternatif lain akibat tidak sabar. Sebaliknya ketika hidup sudah aman dan sukses, janganlah lupa diri. Pastikan bahwa kita tetap rendah hati, tetap bersyukur kepada Tuhan atas semua berkat yang Dia curahkan bagi kita. Jadikan Tuhan berkuasa atas hidup kita, baik dalam suka maupun duka, agar kita bisa mengakhiri awal yang gemilang dengan akhir yang gemilang pula.

Saul yang kehilangan segala berkat Tuhan dan harus mengalami akhir tragis karena kebodohannya sendiri. Kisah Saul menyatakan adanya konsekuensi atau akibat yang harus kita tanggung jika kita melupakan atau menghianati Tuhan. Sudahkah kita taat sepenuhnya pada Tuhan atau masih bergantung pada hal-hal lain di luar Dia? Bagi yang sudah sukses menggapai mimpi, bagaimana anda menyikapinya? Apakah anda masih tetap rendah hati dan dipenuhi rasa syukur, menjadi saluran berkat bagi sesama atau sudah berubah menjadi orang yang angkuh, rakus dan besar kepala? Apakah kita masih berpusat pada Tuhan atau tanpa sadar sudah lama meninggalkanNya dan beralih kepada segala bentuk kegelapan yang ada di dunia? Ini penting untuk diperhatikan dengan serius karena konsekuensi yang harus ditanggung pun tidak kalah seriusnya. Semua tergantung keputusan kita sendiri, oleh sebab itu mari awasi setiap langkah secara sungguh-sungguh agar kita jangan sampai berakhir seperti Saul.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Source: www.renunganharianonline.com

Sabtu, 16 Juli 2016

Persatuan, bukan perpecahan

Ayat bacaan: Yohanes 17:20-21
=======================
"Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku."

Miris sekali melihat kecenderungan bangsa kita yang sulit untuk bersatu. Di berbagai bidang kita melihat sendiri, bahwa cepat atau lambat perpecahan akan jadi pemenang. Seorang teman mencoba menganalisa, dan menurutnya kita masih sulit keluar dari strategi kolonial yang dikenal dengan divide et impera. Pecah-pecah atau bagi-bagi, lalu kuasai. Dipecah dengan cara dihasut, melontarkan berbagai hal negatif dengan tujuan supaya pecah. Kalau sudah terpecah, bagian-bagian yang lebih kecil tentu mudah dikuasai. Itu kan jaman kolonial. Tapi sekarang di alam merdeka, kok kita tetap saja belum bisa move on? Apa benar itu merupakan faktor penyebab sulitnya kita bersatu? Entahlah. Padahal semangat persatuan dicantumkan dalam sila ketiga Pancasila, yang tidak lain adalah dasar negara kita. Dasar, itu artinya pondasi dimana negara kita sebenarnya dibangun. Kalau katanya negara dibangun dengan dasar itu, dimana bersatu merupakan satu dari lima pilar, kenapa kita masih saja sulit melakukannya? Perbedaan kini malah sepertinya boleh dijadikan dasar untuk membantai orang lain. Kalau dulu ada kata toleransi, itu sudah hilang lama dari sebagian besar bangsa ini.

Yang lebih miris lagi, orang-orang percaya bukannya mencontohkan sikap berbeda tapi malah ikut-ikutan berbuat sama, dengan frekuensi dan intensitas yang kurang lebih sama pula. Gereja terus seperti amuba membelah diri saat ada konflik. Orang-orang di dalamnya juga sama, baik yang harusnya jadi panutan maupun jemaat. Bukan persatuan, tapi perbedaan lah yang berkuasa. Kalau agen-agen Tuhan saja begitu, bagaimana kita bisa bermimpi untuk hidup di dunia yang ramah? Di luar orang pecah, di dalam pecah. Kalau tentara kolonial dulu memakai strategi ini, sesungguhnya si jahat pun sangat suka memakai hal yang sana. Bukankah akan jauh lebih mudah menyesatkan orang yang sudah terpecah-pecah dibandingkan orang yang dengan kompak bersatu? Kalau kita sudah tahu itu, betapa sayangnya apabila kita masih saja tergoda untuk membelah diri bukannya bersatu.

Memperbesar jurang perbedaan memang lebih mudah daripada mencari kesamaan. Ini sudah menjadi hal yang lumrah di jaman sekarang. Perpecahan di tubuh gereja yang  bisa sampai menyebabkan permusuhan antar gereja bukan lagi hal yang aneh terjadi hari-hari ini. Dari atas kemudian menular ke bawah. Maka tidak jarang kita mendengar orang berkata bahwa gerejanya paling benar dan menganggap gereja lainnya buruk, bahkan belum apa-apa sudah berani menuduh sesat. Saling mengejek, merendahkan, memojokkan, menganggap hanya dirinya yang benar sedangkan yang lainnya salah. Anehnya, ini bisa terjadi pada denominasi yang sama tapi beda 'merek.'

Itu jelas hal yang menyedihkan. Bagaimana kita mau menjadi berkat jika di antara kita saja sudah saling menyalahkan? Bagaimana kita bisa bermimpi untuk hidup di dunia yang penuh sukacita dan kedamaian kalau diantara kita saja masih ribut soal hal-hal yang sebenarnya sepele?  Bukannya mencari titik persamaan tapi malah semakin sibuk menggali jurang perbedaan. Bukannya semakin dekat, tapi malah semakin jauh. Jangan mimpi dulu untuk bisa menjadi saluran berkat dan cerminan kasih Kristus jika kepada saudara seiman saja kita tidak mampu mengaplikasikannya. Berbagai alasan yang kita ciptakan sendiri menjadi lahan bermain yang menyenangkan bagi iblis untuk menghancurkan kita.

Apa yang dirindukan Yesus sangatlah berbanding terbalik dengan tendensi kita. Dia jelas merindukan kesatuan di antara semua pengikutNya di atas permukaan bumi ini. Sudah jelas bahwa setiap gereja yang mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat merupakan bagian dari tubuh Kristus. Maka dimanapun kita berjemaat, kita pun seharusnya merupakan anggota dari tubuh Kristus. Jika Yesus saja mengasihi semua anggota tubuhNya sendiri, siapakah kita yang malah berani saling menyalahkan dan menjatuhkan?

Itu terlihat dari doa dari Yesus untuk murid-muridNya. Dalam doa itu Yesus mengatakan"Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." (Yohanes 17:20-21).

Kemarin ayat ini sudah saya sebutkan. Tapi hari ini mari kita lihat lebih dalam lagi. Ada beberapa bagian penting dari petikan doa Yesus ini yang bisa kita ambil. Pertama, kita bisa melihat bahwa Yesus tidak hanya berdoa bagi murid-muridNya, tapi juga kepada semua orang yang percaya kepadaNya. Kemudian Yesus juga mendoakan agar semua kita yang percaya kepadaNya bisa bersatu. Sama seperti Bapa di dalam Yesus, dan Yesus di dalam Bapa, demikian pula kita semua di dalam Bapa dan di dalam Yesus. Itu merupakan bentuk kesatuan yang bulat, utuh, penuh.

Selanjutnya, Yesus pun menyatakan bahwa hanya dengan kesatuan seperti inilah kita bisa membuat perbedaan nyata bagi dunia, dimana dunia pada akhirnya bisa melihat dan percaya kepada Kristus. Tidak akan ada yang percaya kepadaNya jika kita sebagai umatNya di muka bumi ini justru menunjukkan kelakuan yang buruk, yang sama saja dengan apa yang dipertontonkan orang di luar sana, atau jangan-jangan justru kita lebih buruk. Jika kita sendiri pecah dan saling benci, sementara kita mengajarkan soal kasih, siapa yang bakal mau mendengar? Bukannya menjadi berkat, kita malah menjadi batu sandungan. Bukannya memuliakan Tuhan, tapi kita malah menjelekkan namanya.

Berbicara mengenai kesatuan, kita bisa belajar dengan meneladani cara hidup gereja mula-mula. Kebersatuan mereka ternyata bukan saja kuat tapi juga sangat indah. "Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa." (Kisah Para Rasul 2:42). Dalam kebersatuan dan ketaatan pun mereka kemudian diberkati Tuhan dengan hadirnya banyak mukjizat dan tanda. (ay 43). Selanjutnya dikatakan bahwa mereka menyaksikan kemuliaan Tuhan turun atas mereka, semuanya terus bersatu, bahkan kepunyaan mereka masing-masing pun menjadi milik bersama. "Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama," (ay 44). Dan lihatlah bahwa dengan kebersatuan yang mereka tunjukkan, dunia bisa melihat dan percaya. Tuhan pun menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan. (ay 47).

Perhatikan bahwa tidak ada perbedaan antara jemaat mula-mula. Orang Yahudi atau tidak, kaya atau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, mereka semua bersatu dan sama-sama bertekun untuk belajar kebenaran firman Tuhan. Mereka memberi diri dibaptis, memecahkan roti, berdoa, mendalami firman Tuhan, bersatu di dalam rumah Tuhan, dan yang paling penting, melakukan segala yang difirmankan Tuhan pula lewat perilaku mereka. Dan dunia pun bisa melihat bentuk kesatuan ini secara nyata.

Mari kembali kepada Yohanes 17:20-21 di atas. Kita bisa melihat bahwa saat Yesus berbicara mengenai satu kesatuan, Yesus bukan hanya mengacu kepada kesatuan rohani semata tapi juga mengacu kepada sebuah kesatuan yang secara nyata dapat dilihat oleh dunia. Tidak soal dimana anda dan saya berjemaat, kita semua adalah satu, sama-sama anggota tubuh Kristus. Kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus dimana Kristus sendiri bertindak sebagai kepala."Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada."(Efesus 1:22). Ingatlah bahwa "Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu." (ay 23). Selanjutnya Paulus juga mengingatkan:"Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan." (2:20-21).

Hendaknya kita selalu ingat bahwa dimanapun kita berjemaat, kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus, yang seharusnya saling mengisi, saling melengkapi dan sama-sama menjadi bagian tubuh Yesus yang berfungsi baik dimanapun kita berada. Alangkah indahnya jika kita bisa menyampingkan berbagai perbedaan dan mengedepankan kesamaan. selanjutnya saling dukung untuk bertumbuh bersama-sama. Kita tidak boleh membuka kesempatan dan memberi toleransi terhadap perpecahan, apapun alasannya diantara sesama tubuh Kristus sendiri. Bentuk tata cara peribadatan boleh saja berbeda, denominasi boleh saja berbeda, yang penting semuanya berdasar pada iman yang sama akan Kristus. Semuanya tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bait Allah yang kudus.

Di atas segala perbedaan pasti ada kesamaan. Setidaknya sama-sama beriman kepada Kristus, itu sebuah kesamaa nyang bisa dijadikan dasar untuk membangun persatuan. Kita selalu bisa mulai dari sana. Kita diajarkan untuk saling mengasihi, seperti halnya Tuhan mengasihi kita. Kita bisa belajar mengamalkannya dari yang kecil, yaitu diantara sesama jemaat Kristus. Jangan bermimpi untuk bisa menjadi terang dan garam di dunia jika kepada saudara sendiri saja kita masih saling curiga. Jika itu yang masih kita pertontonkan, bagaimana mereka bisa percaya?

Yesus menginginkan kita untuk bersatu, sedang iblis ingin kita terpecah belah dan saling benci. Yesus ingin kita menjadi contoh nyata di dunia yang menyatakan diriNya, sedang iblis ingin menggagalkan semua itu. Satu hal yang pasti, iblis dan pengikutnya akan selalu ingin memecah belah kita agar bisa menguasai. Mana yang akan kita pilih?

Kembalilah kepada hati Kristus yang menginginkan persatuan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Source: www.renunganharianonline.com

#Bible #BibleSays #Alkitab #RenunganAlkitab #RenunganHarian #RenunganKristen #JesusChrist #TuhanYesus #GPPS

Selasa, 12 Juli 2016

Lidah bagai api yang membakar habis hutan

Ayat bacaan: Yakobus 3:5
===================
"Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar"

Kebakaran hutan menjadi musibah tahunan di negara kita yang menyengsarakan begitu banyak warga. Celakanya, bukan saja di negara kita tapi dampak asap beracun yang timbul dari hasil bakaran orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini pun mengganggu negara-negara tertangga. Tahun lalu merupakan musibah terparah karena yang terbakar kebanyakan lahan gambut ditambah lagi bertepatan dengan musim kemarau panjang. Api kalau masih kecil akan mudah sekali dipadamkan. Misalnya anda nyalakan lilin, anda bisa dengan mudah mematikannya hanya dengan meniup saja. Api unggun yang lebih besar tidak bisa padam dengan ditiup, tapi dengan siraman air atau ditutupi tanah api unggun biasanya juga tidak sulit untuk dimatikan. Api yang kecil itu ternyata sanggup membakar hutan. Mulanya kecil, tapi pada suatu ketika ratusan hektar hutan bisa habis terbakar. Dan kalau sudah begitu, memadamkannya pun menjadi luar biasa sulit. Kalau tanah biasa saja sulit apalagi lahan gambut yang punya banyak rongga sehingga walau atasnya disiram, dibawah masih terdapat banyak bara yang sewaktu-waktu akan kembali membakar hebat hutan-hutan tersebut.

Lidah merupakan bagian kecil saja dari tubuh kita. Letaknya pun lumayan tersembunyi, di dalam mulut sehingga orang harus membuka mulut terlebih dahulu agar lidah bisa terlihat. Gunanya untuk mengecap rasa dan membantu agar pelafalan huruf bisa sempurna. Kecil itu biasanya tidak berbahaya. Tapi sadarkah kita bahwa kerusakan terbesar seringkali bukan lewat tindakan-tindakan kekerasan yang ekstrim tapi justru lewat organ kecil bagian tubuh kita yaitu lidah? Dan yang lebih parah, awal persoalan seringkali bukan hal yang berat, tapi lewat gesekan-gesekan kecil yang seharusnya mudah diredakan. Bagaikan nyala api yang mulainya kecil, itu bisa cepat dipadamkan. Tetapi ketika api didiamkan maka ia akan terus membesar dan membakar lebih banyak lagi. Ketika dampak yang ditimbulkan sudah sedemikian besar, maka omongan yang liar bisa menghancurkan dan menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit. Bukan saja bagi satu orang tapi juga banyak orang, kelompok, lingkungan, kota, bahkan bangsa dan negara.

Kalau tidak sampai sejauh itu, seringkali lidah berfungsi menyampaikan omongan-omongan yang bisa melukai perasaan atau bahkan menimbulkan kepahitan bagi korban. Ada sebuah kisah nyata yang diceritakan teman saya. Ceritanya, ia pada waktu itu menjabat sebagai ketua tim musik di gereja. Ada seorang gitaris yang menurutnya bermain di bawah standar dan membuat latihan menjadi terus kacau. Sayangnya ia tidak menyikapi dengan baik, melainkan melemparkan kata-kata yang tajam meski tidak membentak. Si pemain gitar ini kemudian pergi meninggalkan latihan sekaligus meninggalkan pelayanan. Sekian tahun kemudian si gitaris bercerita bahwa kata-kata yang dilemparkan teman saya ternyata begitu tajam melukai perasaannya. Ia berhenti melayani, berhenti main musik yang sebenarnya merupakan passion-nya bahkan menjual semua instrumen dan peralatan musiknya. Disana teman saya sadar akan kesalahannya. Ia minta maaf dan menjadikan pengalamannya ini sebagai pelajaran berharga bagi dirinya. Meski memaafkan, tapi si pemain gitar tetap mengubur dalam-dalam hasrat bermusiknya. Lihatlah sebuah kalimat saja ternyata bisa membunuh karir seseorang dengan sangat cepat.  

Alkitab mengingatkan dengan jelas mengenai potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lidah. Yang menarik, Yakobus menganalogikan lidah bagai api yang membakar. Demikian kata Yakobus. "Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar." (Yakobus 3:5).

Ini adalah sebuah analogi yang sesungguhnya sangat tepat, karena efek atau dampak kerusakan yang ditimbulkan bisa sama parahnya seperti kebakaran hutan yang besar. Sepercik api itu sangatlah kecil dan sama sekali tidak dianggapberbahaya. Jika anda nyalakan korek api, nyala api yang timbul sama sekali tidak akan membahayakan. Tapi apa jadinya jika kita mulai mendekatkan itu kepada kulit dan membiarkannya? Atau bagaimana jika api itu kita letakkan membakar sedikit bagian hutan dan kemudian menyebar? Dampaknya bisa sangat berat bahkan fatal. Bisa menghilangkan nyawa orang, kalaupun tidak sampai nyawa, kesehatan begitu banyak orang akan terganggu. Lalu untuk memperbaikinya bisa membutuhkan tahunan, puluhan tahun, atau malah tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi ke kondisi semula.

Yakobus melanjutkan: "Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan." (ay 6-8).

Jika Yakobus menyorot tentang kebuasan lidah yang begitu sulit dijinakkan, tak terkuasai dan penuh racun, seperti itulah memang bahayanya. Kita sudah terlalu sering melihat kehancuran hubungan antar manusia, antar suku bangsa bahkan negara yang berasal dari kebuasan lidah yang tak terkendali ini, sama seperti api yang membakar dan menghancurkan. Ironisnya, lidah sebenarnya bisa dipakai untuk memuji Tuhan, tapi lidah yang sama ini pula bisa menjadi senjata penghancur yang lebih dahsyat dari senjata termuktahir hari ini. "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (ay 9-10).

Setiap saat kita berhadapan dengan begitu banyak orang dengan tingkah, polah dan gayanya sendiri-sendiri, bahkan tidak tertutup terjadi di kalangan keluarga atau orang-orang terdekat. Gesekan bisa terjadi kapan saja dan perselisihan pun bisa timbul. Seperti yang saya sebut tadi, penyebabnya biasanya bukanlah masalah besar tetapi dimulai dari hal-hal yang kecil atau sepele. Tapi ketika dibiarkan, tidak diselesaikan dan kemudian ditambah pula dengan percikan-percikan yang membakar berasal dari lidah,  namun kemudian masalahnya meluas sehingga pada akhirnya sulit untuk dikendalikan. Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk bersabar dan bisa menahan diri, tidak terbujuk atau terpengaruh oleh emosi sesaat yang pada akhirnya kita sesali juga tetapi sudah terlanjur menghancurkan banyak hal. Hubungan keluarga hancur, hubungan pertemanan, hubungan bertetangga, hubungan antar manusia, dan jika ini yang terjadi, perdamaian di bumi pun akan semakin jauh dari harapan.

Iblis akan berusaha menghancurkan manusia, dan biasanya itu dilakukan dengan menyerang sel terkecil yaitu keluarga. Dari kehancuran keluarga, semua impian iblis bisa diwujudkan, dan ketika itu yang terjadi, maka kita sendiri yang akan menanggung kerugian besar. Tidak ada tempat bagi kebencian apalagi dendam dalam Kekristenan. Kita selalu diminta untuk mengasihi, mengerti dan mengaplikasikan bagaimana kasih Tuhan yang tanpa batas itu untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah orang yang bersalah itu mau mengakui kesalahannya atau tidak, kita diminta untuk bisa memberi pengampunan.

Firman Tuhan berkata: "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni." (Lukas 6:37). Jika itu kita terapkan, maka kita bisa berharap untuk melihat perdamaian semakin bertumbuh di dunia ini. Sayangnya kita justru sering memakai hukum sebab akibat sebagai alasan pembenaran atas permusuhan yang terjadi antara kita dengan orang lain. Kita mengira bahwa dengan mengeluarkan emosi lewat kata-kata maka kita bisa lebih tenang. Tetapi yang justru sering terjadi, lidah yang tidak terjaga akan terus membakar sehingga pada suatu ketika tidak lagi bisa dipadamkan.

Itulah sebabnya firman Tuhan berkata: "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Roma 12:18). Ayat yang saya pakai sebagai ayat bacaan renungan sebelumnya ini penting karena kita sering lupa bahwa keputusan untuk berdamai atau bertikai seringkali bukan tergantung dari orang, tetapi justru berasal dari diri kita sendiri. Mungkin memang orang lain yang memulai, tetapi bukankah keputusan untuk mengampuni atau tidak itu datangnya dari diri kita sendiri? Apa yang harus kita jaga adalah memiliki kasih dalam diri kita, dan ada elemen kecil yang seharusnya kita jaga dan perhatikan karena sering luput dari perhatian kita, yaitu lidah.

Lidah itu cuma bagian kecil dari keseluruhan tubuh kita. Bandingkan dengan tubuh kita, lidah tidak ada apa-apanya. tetapi kehancuran yang bisa ditimbulkan oleh lidah yang tidak terkawal bisa begitu hebat. Bukan saja menghancurkan diri kita, tetapi bisa berdampak jauh lebih besar daripada itu. Masa depan orang lain bahkan kelangsungan kehidupan manusia secara luas bisa berakhir hanya karena lidah yang tidak terkendali. Sejarah mencatat banyak peristiwa yang mengubah kehidupan manusia menjadi porak poranda, dimana dibutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa pulih dari kerusakan yang berawal dari lidah. Untuk itu kita perlu menyerahkan lidah kita ke dalam tangan Tuhan, mengisi hati kita sebagai sumber kehidupan dengan firman Tuhan dan menghidupi kasih secara nyata dalam diri kita. Kemampuan manusia tidak akan sanggup menguasai lidah, tetapi kita bisa belajar untuk mengandalkan Tuhan dalam mengendalikannya.

Sebuah pesan yang tidak kalah penting mungkin baik pula untuk diangkat dalam menyikapi kebuasan lidah ini. "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah" (Yakobus 1:20). Jangan terburu-buru melempar kata-kata, apalagi dalam keadaan yang sedang panas terbakar emosi. Jangan sampai emosi sesaat yang terlontar lewat perkataan itu menjadi sesuatu yang kita sesali kelak, yang bisa jadi sudah terlambat untuk diperbaiki. Sebuah "amarah manusia tidak mengajarkan kebenaran di hadapan Allah" (ay 20). Dampak yang ditimbulkan bisa sangat parah dimana lidah biasanya menjadi ujung tombak dalam mewakili kemarahan ini. Disamping itu peran lidah sebagai pintu keluar produk kemarahan juga menunjukkan bahwa meski kecil, organ tubuh ini benar-benar harus kita jaga baik.

Oleh karena itu, marilah kita waspadai dengan secermat-cermatnya segala sesuatu yang keluar dari mulut kita. Jangan sampai ada kutuk dalam bentuk apapun yang keluar dari mulut kita, jangan sampai lidah kita berlaku begitu bebas berlaku buas lalu melukai bahkan membunuh masa depan banyak orang. Apa yang baik adalah mempergunakan lidah untuk memuji dan menyembah Tuhan, dan pakai pula untuk memberkati sesama. Itulah tujuan utama Tuhan memberi lidah bagi manusia selain untuk merasa. Tuhan bisa pakai lidah kita untuk menjadi terang dan garam bagi dunia, maka pergunakanlah itu sesuai dengan kehendakNya.

Anger is a condition in which the tongue works faster than mind.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Source: www.renunganharianonline.com

#Bible #BibleSays #Alkitab #RenunganAlkitab #RenunganHarian #RenunganKristen #JesusChrist #TuhanYesus #GPPS

Lidah bagai api yang membakar habis hutan

Ayat bacaan: Yakobus 3:5
===================
"Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar"

Kebakaran hutan menjadi musibah tahunan di negara kita yang menyengsarakan begitu banyak warga. Celakanya, bukan saja di negara kita tapi dampak asap beracun yang timbul dari hasil bakaran orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini pun mengganggu negara-negara tertangga. Tahun lalu merupakan musibah terparah karena yang terbakar kebanyakan lahan gambut ditambah lagi bertepatan dengan musim kemarau panjang. Api kalau masih kecil akan mudah sekali dipadamkan. Misalnya anda nyalakan lilin, anda bisa dengan mudah mematikannya hanya dengan meniup saja. Api unggun yang lebih besar tidak bisa padam dengan ditiup, tapi dengan siraman air atau ditutupi tanah api unggun biasanya juga tidak sulit untuk dimatikan. Api yang kecil itu ternyata sanggup membakar hutan. Mulanya kecil, tapi pada suatu ketika ratusan hektar hutan bisa habis terbakar. Dan kalau sudah begitu, memadamkannya pun menjadi luar biasa sulit. Kalau tanah biasa saja sulit apalagi lahan gambut yang punya banyak rongga sehingga walau atasnya disiram, dibawah masih terdapat banyak bara yang sewaktu-waktu akan kembali membakar hebat hutan-hutan tersebut.

Lidah merupakan bagian kecil saja dari tubuh kita. Letaknya pun lumayan tersembunyi, di dalam mulut sehingga orang harus membuka mulut terlebih dahulu agar lidah bisa terlihat. Gunanya untuk mengecap rasa dan membantu agar pelafalan huruf bisa sempurna. Kecil itu biasanya tidak berbahaya. Tapi sadarkah kita bahwa kerusakan terbesar seringkali bukan lewat tindakan-tindakan kekerasan yang ekstrim tapi justru lewat organ kecil bagian tubuh kita yaitu lidah? Dan yang lebih parah, awal persoalan seringkali bukan hal yang berat, tapi lewat gesekan-gesekan kecil yang seharusnya mudah diredakan. Bagaikan nyala api yang mulainya kecil, itu bisa cepat dipadamkan. Tetapi ketika api didiamkan maka ia akan terus membesar dan membakar lebih banyak lagi. Ketika dampak yang ditimbulkan sudah sedemikian besar, maka omongan yang liar bisa menghancurkan dan menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit. Bukan saja bagi satu orang tapi juga banyak orang, kelompok, lingkungan, kota, bahkan bangsa dan negara.

Kalau tidak sampai sejauh itu, seringkali lidah berfungsi menyampaikan omongan-omongan yang bisa melukai perasaan atau bahkan menimbulkan kepahitan bagi korban. Ada sebuah kisah nyata yang diceritakan teman saya. Ceritanya, ia pada waktu itu menjabat sebagai ketua tim musik di gereja. Ada seorang gitaris yang menurutnya bermain di bawah standar dan membuat latihan menjadi terus kacau. Sayangnya ia tidak menyikapi dengan baik, melainkan melemparkan kata-kata yang tajam meski tidak membentak. Si pemain gitar ini kemudian pergi meninggalkan latihan sekaligus meninggalkan pelayanan. Sekian tahun kemudian si gitaris bercerita bahwa kata-kata yang dilemparkan teman saya ternyata begitu tajam melukai perasaannya. Ia berhenti melayani, berhenti main musik yang sebenarnya merupakan passion-nya bahkan menjual semua instrumen dan peralatan musiknya. Disana teman saya sadar akan kesalahannya. Ia minta maaf dan menjadikan pengalamannya ini sebagai pelajaran berharga bagi dirinya. Meski memaafkan, tapi si pemain gitar tetap mengubur dalam-dalam hasrat bermusiknya. Lihatlah sebuah kalimat saja ternyata bisa membunuh karir seseorang dengan sangat cepat.  

Alkitab mengingatkan dengan jelas mengenai potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lidah. Yang menarik, Yakobus menganalogikan lidah bagai api yang membakar. Demikian kata Yakobus. "Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar." (Yakobus 3:5).

Ini adalah sebuah analogi yang sesungguhnya sangat tepat, karena efek atau dampak kerusakan yang ditimbulkan bisa sama parahnya seperti kebakaran hutan yang besar. Sepercik api itu sangatlah kecil dan sama sekali tidak dianggapberbahaya. Jika anda nyalakan korek api, nyala api yang timbul sama sekali tidak akan membahayakan. Tapi apa jadinya jika kita mulai mendekatkan itu kepada kulit dan membiarkannya? Atau bagaimana jika api itu kita letakkan membakar sedikit bagian hutan dan kemudian menyebar? Dampaknya bisa sangat berat bahkan fatal. Bisa menghilangkan nyawa orang, kalaupun tidak sampai nyawa, kesehatan begitu banyak orang akan terganggu. Lalu untuk memperbaikinya bisa membutuhkan tahunan, puluhan tahun, atau malah tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi ke kondisi semula.

Yakobus melanjutkan: "Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan." (ay 6-8).

Jika Yakobus menyorot tentang kebuasan lidah yang begitu sulit dijinakkan, tak terkuasai dan penuh racun, seperti itulah memang bahayanya. Kita sudah terlalu sering melihat kehancuran hubungan antar manusia, antar suku bangsa bahkan negara yang berasal dari kebuasan lidah yang tak terkendali ini, sama seperti api yang membakar dan menghancurkan. Ironisnya, lidah sebenarnya bisa dipakai untuk memuji Tuhan, tapi lidah yang sama ini pula bisa menjadi senjata penghancur yang lebih dahsyat dari senjata termuktahir hari ini. "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi." (ay 9-10).

Setiap saat kita berhadapan dengan begitu banyak orang dengan tingkah, polah dan gayanya sendiri-sendiri, bahkan tidak tertutup terjadi di kalangan keluarga atau orang-orang terdekat. Gesekan bisa terjadi kapan saja dan perselisihan pun bisa timbul. Seperti yang saya sebut tadi, penyebabnya biasanya bukanlah masalah besar tetapi dimulai dari hal-hal yang kecil atau sepele. Tapi ketika dibiarkan, tidak diselesaikan dan kemudian ditambah pula dengan percikan-percikan yang membakar berasal dari lidah,  namun kemudian masalahnya meluas sehingga pada akhirnya sulit untuk dikendalikan. Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk bersabar dan bisa menahan diri, tidak terbujuk atau terpengaruh oleh emosi sesaat yang pada akhirnya kita sesali juga tetapi sudah terlanjur menghancurkan banyak hal. Hubungan keluarga hancur, hubungan pertemanan, hubungan bertetangga, hubungan antar manusia, dan jika ini yang terjadi, perdamaian di bumi pun akan semakin jauh dari harapan.

Iblis akan berusaha menghancurkan manusia, dan biasanya itu dilakukan dengan menyerang sel terkecil yaitu keluarga. Dari kehancuran keluarga, semua impian iblis bisa diwujudkan, dan ketika itu yang terjadi, maka kita sendiri yang akan menanggung kerugian besar. Tidak ada tempat bagi kebencian apalagi dendam dalam Kekristenan. Kita selalu diminta untuk mengasihi, mengerti dan mengaplikasikan bagaimana kasih Tuhan yang tanpa batas itu untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah orang yang bersalah itu mau mengakui kesalahannya atau tidak, kita diminta untuk bisa memberi pengampunan.

Firman Tuhan berkata: "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni." (Lukas 6:37). Jika itu kita terapkan, maka kita bisa berharap untuk melihat perdamaian semakin bertumbuh di dunia ini. Sayangnya kita justru sering memakai hukum sebab akibat sebagai alasan pembenaran atas permusuhan yang terjadi antara kita dengan orang lain. Kita mengira bahwa dengan mengeluarkan emosi lewat kata-kata maka kita bisa lebih tenang. Tetapi yang justru sering terjadi, lidah yang tidak terjaga akan terus membakar sehingga pada suatu ketika tidak lagi bisa dipadamkan.

Itulah sebabnya firman Tuhan berkata: "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Roma 12:18). Ayat yang saya pakai sebagai ayat bacaan renungan sebelumnya ini penting karena kita sering lupa bahwa keputusan untuk berdamai atau bertikai seringkali bukan tergantung dari orang, tetapi justru berasal dari diri kita sendiri. Mungkin memang orang lain yang memulai, tetapi bukankah keputusan untuk mengampuni atau tidak itu datangnya dari diri kita sendiri? Apa yang harus kita jaga adalah memiliki kasih dalam diri kita, dan ada elemen kecil yang seharusnya kita jaga dan perhatikan karena sering luput dari perhatian kita, yaitu lidah.

Lidah itu cuma bagian kecil dari keseluruhan tubuh kita. Bandingkan dengan tubuh kita, lidah tidak ada apa-apanya. tetapi kehancuran yang bisa ditimbulkan oleh lidah yang tidak terkawal bisa begitu hebat. Bukan saja menghancurkan diri kita, tetapi bisa berdampak jauh lebih besar daripada itu. Masa depan orang lain bahkan kelangsungan kehidupan manusia secara luas bisa berakhir hanya karena lidah yang tidak terkendali. Sejarah mencatat banyak peristiwa yang mengubah kehidupan manusia menjadi porak poranda, dimana dibutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa pulih dari kerusakan yang berawal dari lidah. Untuk itu kita perlu menyerahkan lidah kita ke dalam tangan Tuhan, mengisi hati kita sebagai sumber kehidupan dengan firman Tuhan dan menghidupi kasih secara nyata dalam diri kita. Kemampuan manusia tidak akan sanggup menguasai lidah, tetapi kita bisa belajar untuk mengandalkan Tuhan dalam mengendalikannya.

Sebuah pesan yang tidak kalah penting mungkin baik pula untuk diangkat dalam menyikapi kebuasan lidah ini. "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah" (Yakobus 1:20). Jangan terburu-buru melempar kata-kata, apalagi dalam keadaan yang sedang panas terbakar emosi. Jangan sampai emosi sesaat yang terlontar lewat perkataan itu menjadi sesuatu yang kita sesali kelak, yang bisa jadi sudah terlambat untuk diperbaiki. Sebuah "amarah manusia tidak mengajarkan kebenaran di hadapan Allah" (ay 20). Dampak yang ditimbulkan bisa sangat parah dimana lidah biasanya menjadi ujung tombak dalam mewakili kemarahan ini. Disamping itu peran lidah sebagai pintu keluar produk kemarahan juga menunjukkan bahwa meski kecil, organ tubuh ini benar-benar harus kita jaga baik.

Oleh karena itu, marilah kita waspadai dengan secermat-cermatnya segala sesuatu yang keluar dari mulut kita. Jangan sampai ada kutuk dalam bentuk apapun yang keluar dari mulut kita, jangan sampai lidah kita berlaku begitu bebas berlaku buas lalu melukai bahkan membunuh masa depan banyak orang. Apa yang baik adalah mempergunakan lidah untuk memuji dan menyembah Tuhan, dan pakai pula untuk memberkati sesama. Itulah tujuan utama Tuhan memberi lidah bagi manusia selain untuk merasa. Tuhan bisa pakai lidah kita untuk menjadi terang dan garam bagi dunia, maka pergunakanlah itu sesuai dengan kehendakNya.

Anger is a condition in which the tongue works faster than mind.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Source: www.renunganharianonline.com

#Bible #BibleSays #Alkitab #RenunganAlkitab #RenunganHarian #RenunganKristen #JesusChrist #TuhanYesus #GPPS

Jumat, 08 Juli 2016

Memposisikan uang dengan benar

Ayat bacaan: Matius 6:24
======================
"Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."

Seandainya anda berhadapan dengan perampok yang menodong anda dengan pistol lalu mengancam: "pilih harta atau nyawa", apa jawaban anda? Ya jelas pilih nyawa dong.. itu pertanyaan apaan? Mungkin reaksi banyak orang akan begitu. Harta masih bisa dicari, tapi nyawa tidak ada cadangannya. Itu pasti jadi alasan. Jadi kalau ditodong, kita pasti memberikan apa yang ada pada kita asal jangan ditembak. Siapa yang mau mati karena harta yang fana? Tapi sebenarnya justru banyak orang yang memilih sebaliknya, yaitu lebih memilih harta. Ada banyak orang yang masih berusaha mempertahankan hartanya meski nyawanya sedang terancam di ujung tanduk. Lihat pula ada berapa banyak koruptor yang ditangkap, kemudian harus menghabiskan begitu banyak tahun dalam sisa hidupnya di balik jeruji penjara. Karir yang sudah dibangun habis, tidak lagi bisa menikmati waktu bersama keluarga dan teman-teman. Masih untung bukan dihukum mati seperti di beberapa negara lain, tapi tetap saja semua yang dirintis selama puluhan tahun menjadi sia-sia. Orang yang berani merampok tanpa takut ditembak, atau orang-orang yang rela menjual jiwanya kepada iblis hanya untuk menjadi kaya. Bukankah mereka ini jelas-jelas memilih harta ketimbang nyawa?

Uang memang memegang peran yang luar biasa penting di dunia. Dengan uang kita seakan bisa melakukan segalanya. Kita bisa membeli apapun yang kita mau, kemewahan, kenyamanan, status, termasuk pula membeli hukum dan keadilan. Dengan uang kita bisa menguasai, dengan uang kita bisa menundukkan. Itu memang yang terjadi menurut hukum dunia. Money talks louder than words. Tampaknya begitu. Tapi sadarkah kita bahwa ada begitu banyak jebakan dibalik itu yang bisa menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan? Adakah gunanya uang pada saat kesempatan kita di dunia ini habis?

Ada banyak yang mengira bahwa antara mengikuti Tuhan dan mengejar harta bisa berjalan beriringan alias sekaligus. Beda pos, katanya. Tapi itu adalah sebuah pemikiran yang keliru. Yesus sudah mengingatkan hal ini dengan sangat jelas. "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Tidak bisa dua-duanya, harus pilih satu. Mau pilih mengabdi pada Allah atau mamon (dewa uang)? Mau cinta Tuhan atau cinta harta? Pikirkanlah dampaknya secara luas, bukan cuma selama hidup di dunia ini tapi juga untuk kehidupan yang kekal kelak.

Banyak orang menyalah artikan ayat dalam Matius 6:24 sebagai sebuah perintah untuk hidup miskin, tetapi tentu bukan demikian, karena Tuhan berulang kali menyatakan bahwa Dia sanggup menjaga kita dan melimpahi kita dengan segala sesuatu yang kita butuhkan. Jika kita membaca perikop selanjutnya mengenai Hal Kekuatiran (Matius 6:25-34), disana jelas bahwa Tuhan sanggup menyediakan segala kebutuhan kita. Bukan hanya sedikit atau sebagian, tapi firman Tuhan jelas berkata "semuanya", "all these things taken together will be given". Itu akan kita peroleh jika kita mementingkan terlebih dahulu untuk mendapatkan Kerajaan Allah dan kebenarannya lebih dari apapun. (ay 33). Atau lihat janji Tuhan lainnya "Tetapi seperti ada tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9).

 Mencari uang itu tidak salah, uangnya tidak salah, tetapi menjadi "HAMBA" uang, itulah yang salah.

Selanjutnya mari kita lihat perikop "Orang Kaya Yang Bodoh" dalam Lukas 12:13-21. Bagian ini mencatat perumpamaan mengenai kesia-siaan jika kita sibuk mengumpulkan harta di dunia ini dengan sangat jelas. Yesus berkata "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (ay 15). Dalam perumpamaan yang diberikan Yesus, dikatakan ada seorang yang sangat kaya, yang terus menimbun dirinya dengan pundi-pundi harta. Begitu pongahnya, sehingga "Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (ay 19). Tapi bagaimana reaksi Tuhan? "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?"(ay 20).

Untuk apa semua itu kelak ketika kita dipanggil menghadapNya? Semua itu tidak akan pernah bisa kita bawa. Begitu urusan di dunia selesai, maka itulah akhir cerita dari segala harta kekayaan itu. Dan Yesus pun menutup perumpamaannya dengan "Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." (ay 21).

Tidak peduli seberapa tinggi dan lebar tumpukan harta yang kita miliki saat ini, semua itu tidak akan pernah bisa menjamin keselamatan kekal. Mungkin di dunia ini kita bisa berbuat apapun, tapi tidak bagi Tuhan. Kita tidak akan pernah bisa membayar Tuhan dengan nilai harta berapapun besarnya. Jika anda membaca kisah orang kaya yang bodoh, itulah akhir dari setiap orang yang berusaha memperkaya dirinya sendiri secara duniawi tapi tidak berusaha menjadi kaya di mata Tuhan.

Kekayaan di dunia ini tidaklah sebanding dengan kekayaan di surga kelak. Apa yang seharusnya kita kumpulkan bukanlah harta secara duniawi, melainkan harta di surga. Itulah yang seharusnya menjadi tujuan kita. Yesus berkata "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19). Harta di bumi ini tidak akan pernah bersifat kekal. Setiap saat semuanya bisa sirna, tidak peduli sebanyak apapun yang sudah kita timbun, semua itu bisa lenyap dalam sekejap mata. Dan inilah yang seharusnya kita lakukan: "Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (ay 20).

Jika di dunia kita terus diarahkan untuk menimbun, menurut Kerajaan Allah justru sebaliknya, yaitu terus memberi. "Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Lukas 6:38). Kita diberkati bukan untuk ditimbun. Kita diberkati untuk memberkati. Itulah aturan mainnya. Terus memberi sehingga pada akhirnya kita bisa merasakan "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35).

Jika demikian bagaimana dengan kehidupan kita saat ini? Bukankah kita perlu uang untuk makan, untuk mencukupi keluarga, untuk hidup? Tentu saja. Kita memang harus terus bekerja untuk menyambung hidup, dan untuk itu kita butuh uang. Benar. Tapi kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus menjadi hamba uang, berfokus mengejar harta tanpa pernah bersyukur dan merasa cukup. Orang yang demikian sudah berpindah cintanya kepada mamon. Sebagai seorang hamba kita harus memilih kepada siapa kita mengabdi. Bekerjalah dengan sebaik-baiknya, bahkan kita diminta untuk bekerja dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Lalu Tuhan akan memberkati kita dengan segala sesuatu. Bukan untuk ditimbun melainkan untuk dipakai memberkati orang lain. Dan itupun bukan untuk popularitas kita, tapi untuk kemuliaan Tuhan. Lakukan itu, maka itu artinya kita sedang mengumpulkan harta di surga, dimana tidak ada satupun yang mampu merusak atau mencurinya.

Bukan soal uangnya, tetapi soal dimana hati kita berada. Apakah kita yang memegang kendali atas harta atau sebaliknya kita diperbudak oleh gemerincing uang. Ingatlah bahwa harta duniawi hanyalah mampu berfungsi sebagai alat tukar yang tidak akan pernah kekal sifatnya. Tidak ada perlindungan, kebahagiaan apalagi keselamatan di dalamnya. Apalagi Tuhan sendiri sudah berjanji untuk memberikan semua itu kepada kita, dan jelas Dia lebih dari sekedar sanggup untuk itu. Jika demikian buat apa lagi kita mengorbankan nyawa kita sia-sia? Alangkah ironis jika kita malah memilih harta duniawi yang tidak kekal lalu mengorbankan nyawa kita ke dalam kebinasaan kekal.

Sekali lagi, Tuhan tidak melarang kita untuk mencari nafkah, memiliki pakaian, makanan atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, tapi jangan menghamba kepadanya lantas meninggalkan Tuhan. Berhati-hatilah terhadap jebakan-jebakan yang bisa membuat kita terjatuh ke dalamnya. Kita tidak akan bisa mengabdi kepada Tuhan dan harta sekaligus. Jadi jika pilihan "harta atau nyawa" itu diberikan saat ini, meski tanpa kehadiran perampok dengan pistol, pastikanlah bahwa anda mengerti dan memberi jawaban yang benar.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Source: www.renunganharianonline.com

#Bible #BibleSays #Alkitab #RenunganAlkitab #RenunganHarian #RenunganKristen #JesusChrist #TuhanYesus #GPPS

Selasa, 05 Juli 2016

An open letter of Christ

Ayat bacaan: 2 Korintus 3:3
======================
"Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia."

Dalam menjalankan profesi, saya setiap harinya berhubungan dengan banyak orang lewat surat elektronik alias email. Sebuah email bisa menghubungkan kita dengan siapapun di berbagai belahan dunia dengan cepat dan mudah. Klik send atau kirim, maka seketika itu juga surat itu sampai ke yang dituju. Bandingkan dengan surat via pos yang bisa makan waktu berhari-hari untuk bisa diterima oleh orang yang kita tuju. Saya masih sempat merasakan lamanya menanti balasan dengan surat via pos, dan sekarang menikmati betul adanya fasilitas email. Selain kedua bentuk surat ini menghubungkan kita dengan orang lain yang tinggal di tempat berbeda, satu hal yang sama dari keduanya menurut pengamatan saya adalah bahwa keduanya bisa menggambarkan sifat dari penulisnya. Orang yang ramah akan terlihat dari balasannya, orang yang terbiasa formil akan sangat formil dalam membalas. Orang yang suka bercerita emailnya bisa panjang, sebaliknya orang yang efektif emailnya singkat, padat dan jelas. Orang yang cermat biasanya membalas dengan meng-quote email kita sebelum membalas agar tidak ada yang terlewat, orang yang intim akan bercerita lebih jauh dari yang kita tanyakan. Orang yang emosian akan terasa dari caranya membalas surat atau email, orang yang sabar tentu berbeda gayanya. Ada banyak orang yang saya mulai kenal bukan secara langsung melainkan lewat korespondensi email, dan pada saat bertemu saya serasa sudah mengenal mereka dan tahu harus berkomunikasi seperti apa.

Sebuah surat bisa menunjukkan atau menggambarkan pribadi penulisnya. Dalam hal menjadi pengikut Kristus, sudahkah kita sadar bahwa kita pun sesungguhnya merupakan tulisan atau surat tersendiri akan Kristus? Bukan tulisan di atas kertas atau lewat mengetik di keyboard komputer/laptop/netbook/tablet dan gadget atau smart phone yang kita miliki melainkan dari cerminan kehidupan kita, menjadi surat Kristus bagi orang-orang di sekitar kita. Mereka seharusnya bisa mengenal Tuhan yang kita sembah lewat cara hidup kita ditengah masyarakat. Kalau cara hidup kita benar, maka kebenaran Tuhan akan terpancar disana. Tapi sebaliknya jika kita mengaku orang percaya tapi kehidupan kita buruk, maka orang pun akan mencemooh dan mendapat pengenalan yang keliru dari Kristus. Kita seharusnya sadar bahwa kita merupakan surat yang bukan sembarang surat tetapi menjadi surat Kristus yang bisa dibaca orang lain. Dengan kata lain, kita seharusnya bisa menjadi sebuah kesaksian tersendiri mencerminkan figur Kristus yang bisa dilihat oleh orang lain yang bertemu kita dengan jelas.We are an open letter of Christ to the world. 

Mari kita lihat ayatnya, yang ditulis oleh Paulus dalam surat yang ditujukan kepada jemaat Korintus. "Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:3). Dikatakan bahwa kita ditulis bukan dengan tinta yang biasa dipakai orang untuk menulis melainkan langsung dengan Roh Allah. Bukan pada loh batu atau kertas tetapi langsung ke dalam hati kita. Jika kita jelek, maka jeleklah yang dibaca orang. Sebaliknya jika yang tertulis adalah gambaran Kristus yang benar, maka orang pun akan mampu melihat atau membaca siapa sebenarnya Kristus lewat apa yang tampil dari kita.

Kita perlu merenungkan dan memeriksa apa yang tertulis dalam hati kita hari ini. Seperti apa pribadi Kristus yang dibaca orang lewat diri kita? Agar suratnya tidak keliru, kita harus menjaga hati kita agar yang tercermin tidak bertentangan dengan pribadi Kristus yang telah ditulis oleh Roh Kudus secara langsung.

Menjaga hati menjadi sesuatu yang mutlak bagi kita. Firman Tuhan berkata: "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Ayat ini dengan tegas dan nyata menggambarkan bahwa apapun kehidupan yang terpancar dari diri kita hari ini, semua itu berasal dari hati. Dan apa yang tertulis dalam hati kita akan sangat menentukan apa yang dibaca orang lewat diri kita. Sebagai anak Tuhan kita telah dianugerahkan Roh Kudus, dan dalam hati kitalah Dia berdiam. "Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!"(Galatia 4:6).

Sebagai surat Kristus, surat seperti apa yang kita tunjukkan lewat kehidupan kita saat ini? Apakah kita sudah mencerminkan pengenalan yang benar akan Kristus, atau kita bersikap munafik, mengaku sebagai pengikut Kristus tetapi terus menerus menunjukkan perilaku yang jelek? Apakah kita sudah memperkenalkan bagaimana Yesus yang sebenarnya atau malah kita membuat Yesus menjadi bahan ejekan dan tertawaan orang? Apakah orang menjadi tertarik untuk mengenal Kristus lebih jauh atau malah tambah anti pati? Kita harus menyadari bahwa orang bisa mengenal Yesus lewat diri pengikutNya. Ini adalah hal yang sangat penting untuk kita renungkan, karena orang akan terus mengamati siapa diri kita, dan seperti apa sebenarnya pribadi Yesus yang tertulis lewat kita.

Mari kita lanjutkan sedikit lagi. Dari mana pengenalan Kristus itu akan muncul dari kita? Pengenalan akan Kristus yang benar akan muncul lewat buah-buah baik yang tumbuh dari hidup kita. Bicara soal buah, cara termudah bagi kita untuk mengetahui jenis pohon adalah lewat buah yang tumbuh pada ranting-rantingnya. Pohon mangga akan menghasilkan buah mangga. Pohon yang baik akan berbuah lebat, dan yang tidak akan sulit berbuah atau malah tidak sama sekali. Seperti itu pula dengan kita. Yesus berkata: "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:4-8).

Dalam kesempatan lain Yesus berkata: "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes 13:35). Jadi seharusnya orang akan tahu bahwa kita adalah murid Yesus dan mengenal PribadiNya secara benar lewat diri kita, yaitu apabila kita menunjukkan sikap saling mengasihi tanpa memandang latar belakang, kenal tidak kenal dan lain-lain dalam hidup kita sehari-hari.

Sebagai surat Kristus kita juga harus mampu membawa terang, seperti halnya Yesus yang merupakan Terang Dunia. Itu dikatakan Yesus sendiri. "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Matius 5:16) Karena itulah kita harus menjaga hati kita dengan segala kewaspadaan, hingga kita bisa mencapai tingkatan seperti yang Tuhan ingin kita capai. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Matius 5:48). Hanya dengan demikianlah kita bisa menjadi surat Kristus yang benar untuk dibaca banyak orang. Segala sisi kehidupan kita seharusnya mampu bercerita tentang Yesus. Hidup kita seharusnya mampu menjadi surat cinta Yesus kepada semua orang di dunia tanpa terkecuali. Seperti halnya Yesus mencintai anda, setiap sendi kehidupan kita juga sudah selayaknya menjadi kertas yang dipakai oleh guratan pena Tuhan untuk menyatakan kasihNya yang begitu besar kepada semua orang tanpa terkecuali.

Roh Allah meninggalkan coretan-coretan dalam diri kita. Bukan coretan-coretan kasar tanpa makna atau sukar dibaca atau malah yang tidak enak dipandang mata, tetapi sebaliknya memberikan gambaran akan kasih dan perhatian Tuhan yang begitu indah dan besar kepada dunia. Apakah itu yang dibaca orang lewat diri kita hari ini atau malah kita meninggalkan goresan-goresan tajam yang justru mencabik-cabik orang lain? Sosok Yesus seperti apa yang tergambar lewat diri kita? Surat apa yang kita tunjukkan dalam hubungannya dengan jatidiri kita sebagai murid Yesus? Setiap orang percaya merupakan surat tersendiri akan Kristus. Suka atau tidak, sadar atau tidak, mau atau tidak, kita merupakan sebuah surat terbuka yang bisa membuat orang mengenal Yesus lewat cara dan gaya hidup kita. We are an open letter of Christ to the world.

Karenanya, perhatikanlah dengan baik perilaku dan cara hidup kita, agar orang tidak sampai salah melihat figur Yesus melalui diri kita. Jika kita merupakan surat Kristus, apakah pembaca akan menemukan pribadi Yesus yang benar di dalam setiap lembarnya?
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Source: www.renunganharianonline.com

#Bible #BibleSays #Alkitab #RenunganAlkitab #RenunganHarian #RenunganKristen #JesusChrist #TuhanYesus #GPPS